Prostitusi : Legalitas dan Moralitas

Share This Post

Prostitusi menurut KBBI atau Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah “pertukaran hubungan seksual dengan uang atau hadiah sebagai suatu transaksi perdagangan”. Prostitusi selalu dikaitkan dengan kriminalitas terutama di negara Indonesia, dan disamakan dengan tindak kriminal lain dalam undang — undang. Prostitusi dianggap sebagai kejahatan karena korbannya adalah kaum hawa. Kita semua pasti setuju bahwa prostitusi adalah kegiatan pelecehan terhadap kaum wanita, begitupun persepsi masyarakat Indonesia. Namun perlu digaris bawahi bahwa prostitusi akan lahir dari struktur ekonomi kapitalisme.

Prostitusi merupakan salah satu bentuk kekerasan terhadap kaum wanita yang berasal dari kelas — kelas masyarakat. Bentuk penindasan terhadap wanita selalu berubah seiring perbedaan kelas masyarakat. Pada zaman neolitikum, jauh sebelum manusia mengenal struktur dan konsep ekonomi, biasanya wanita dijadikan objek barter atau pertukaran dengan ternak sebagai hadiah perkawinan. Begitupun yang terjadi pada zaman feodal dimana wanita bisa diangkat menjadi selir para bangsawan disamping istri sahnya. Hingga kini, struktur ekonomi dan pertukaran komersial berkembang, dan kapitalisme mengubah wanita menjadi suatu komoditas. Karena alasan tersebut, lahirlah praktik prostitusi yang menghasilkan uang.

Prostitusi mayoritas lahir karena keadaan ekonomi yang buruk, mereka lahir subur di negara — negara berkembang dengan keterbukaan lapangan kerja yang sedikit dan sisanya lahir karena perdagangan manusia. Selain itu, faktor lahirnya praktik prostitusi juga didukung oleh kurangnya atau rendahnya kualitas pendidikan dalam masyarakat. Kondisi ini juga turut diperparah dengan adanya ketidaksetaraan antara kaum pria dan wanita yang dipertahankan dalam sistem patriarki. Pria dianggap sebagai sumber ekonomi dalam keluarga dan memegang kendali atas seksualitas atas wanita dalam batas perkawinan. Dengan demikian kaum wanita secara ekonomi ditempatkan pada posisi yang rentan terhadap pelacuran dan penindasan, sedangkan di pihak lain kaum wanita dididik melalui patriarki selama berabad-abad untuk mengharap sokongan materi dari laki-laki, baik dalam pernikahan maupun di luar pernikahan. Inilah akar masalahnya. Inilah basis material prostitusi.

Dalam suatu artikel yang dimuat oleh Liputan 6, Indonesia menempati urutan ke-12 negara dengan nilai bisnis prostitusi terbesar di dunia dengan nilai mencapai 2,25 miliar US Dollar[1]. Hal ini tentu mencengangkan mengingat Indonesia adalah negara dengan mayoritas penduduk beragama muslim yang sangat jelas melarang perbuatan kawin diluar nikah. Kendati demikian menurut hukum positif di Indonesia, praktik prostitusi tidak dapat dikategorikan sebagai perbuatan zina. Zina menurut Pasal 284 KUHP adalah persetubuhan yang dilakukan oleh laki-laki atau wanita yang telah menikah dengan wanita atau laki-laki yang bukan istri atau suaminya. Persetubuhan tersebut dilakukan atas dasar suka sama suka dan tidak merupakan paksaan dari salah satu pihak. Terdapat kata “telah menikah” dalam isi dari Pasal 284 KUHP yang dapat meloloskan praktik prositusi dalam undang — undang zina.

Lantas bagaimana dengan hukum positif yang mengatur mengenai praktik prostitusi ? Sejauh ini undang — undang prostitusi di Indonesia masih dalam tahap penggodokan sebelum di undangkan. Dengan kata lain, belum ada pasal dalam KUHP yang secara tertulis melarang perbuatan tersebut. Hal ini terlihat dengan pembubaran tempat — tempat yang disinyalir menjadi tempat bernaung para pekerja seks komersial (PSK) oleh satuan polisi pamong praja (Satpol PP). Disini perlu digaris bawahi, bahwa aparat pemerintah yang sering melakukan penindakan tempat — tempat yang dicurigai sebagai tempat praktik pelacuran adalah Satpol PP dimana satuan polisi ini hanya memiliki fungsi non yustisial atau hanya sekedar penertiban. Belum pernah ada kasus prostitusi yang dilakukan oleh pekerja seks komersial (PSK) yang diajukan ke meja persidangan, mengapa ? seperti yang sudah saya jelaskan bahwa Indonesia belum memiliki hukum positif terkait praktik pelacuran atau prostitusi.

Kendati demikian, pelaku prostitusi juga dapat dijerat dengan pasal — pasal lain seperti kasus yang menimpa salah satu artis di Indonesia yang dijerat dengan pasal UU ITE atau Undang — Undang Informasi dan Transaksi Elektronik karena diduga terdapat sebuah video yang menyebar dengan identitas mirip dengannya, hanya itu. Sedangkan untuk seseorang yang “menghubungkan” pembeli dengan sang pelacur atau sering disebut dengan istilah muncikari, dapat dijerat Pasal 506 KUHP yang berbunyi “Barang siapa sebagai muncikari (souteneur) mengambil keuntungan dari pelacuran wanita, diancam dengan pidana kurungan paling lama satu tahun.”

Di bagian pendahuluan tadi saya sudah membuat sebuah pernyataan sempit bahwa kita semua setuju bahwa prostitusi adalah tindakan kriminal. Begitupun dengan persepsi masyarakat Indonesia yang mayoritas sebagai pemeluk agama sesuai dengan sila pertama Pancasila. Dalam agama manapun melarang tindakan pelacuran. Namun apabila disandingkan dengan alasan — alasan ekonomi yang mengharuskan seorang wanita melakukan tindakan tersebut demi menghidupi anak dan keluarganya tentu seorang pemuka agama pun tidak sepatutnya mengatakan bahwa pelacuran adalah suatu praktik yang hina.

Sampai pada bagian kesimpulan, bahwasannya kita semua berpendapat kembali bahwa praktik pelacuran atau prostitusi memang suatu tindakan yang tidak dibenarkan baik secara hukum positif di Indonesia maupun agama. Hanya saja praktik ini belum bisa terhindarkan apabila negara masih memiliki tingkat pengangguran diatas rata — rata serta pendidikan yang belum merata terutama pada kaum wanita mengingat faktor pendorong terjadinya kasus prostitusi adalah faktor ekonomi dan pendidikan yang buruk pada suatu negara. Selain hal tersebut pemerintah hendaknya segera mengundangkan RUU mengenai prostitusi sehingga praktik pelacuran tersebut dapat masuk ke ranah peradilan sehingga segala penindakan terhadap prostitusi dapat dilakukan karena sudah ada landasan hukumnya dalam hukum positif di Indonesia.

More Articles