Dosa Negara Pada Munir Said Thalib

Share This Post

Munir Said Thalib.

Siapa tak kenal dengan Alm. Munir Said Thalib? Beliau merupakan seorang aktivis pembela rakyat kecil yang vokal terhadap kesewenang-wenangan yang dilakukan pemerintah Indonesia pada rezim orde baru. Munir Said Thalib atau yang sering disapa Cak Munir merupakan alumni dari Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, beliau seorang aktivis di Himpunan Mahasiswa Islam, dan Dewan Perwakilan Mahasiswa (Senat Mahasiswa pada saat itu). Beliau juga pendiri LSM KontraS (Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan) yang merupakan organisasi vokal terhadap rezim orde baru hingga aktif dalam pengawalan agenda reformasi hingga saat ini.

Cak Munir, seperti yang diketahui mendapatkan kesempatan beasiswa untuk melanjutkan studi S2nya ke negeri Belanda, tepatnya di Universitas Utrecht. Menggunakan armada pesawat milik Garuda Indonesia, Cak Munir terbang dengan kode penerbangan pesawat GA-974 menuju Belanda. Namun sayang, Cak Munir harus meregang nyawa diatas langit Rumania di dalam pesawat dengan maskapai plat merah milik negara. Visum et Repertum yang dikeluarkan oleh Nederlands Forensisch Instituut (NFI) atau Institut Forensik Belanda mengemukakan bahwa penyebab kematian Cak Munir adalah karena diracun. Tim NFI menemukan adanya racun arsenik dalam tubuh Cak Munir. Merespon temuan tersebut Mabes Polri langsung menetapkan Pollycarpus Budihari Priyanto, seorang pilot garuda sebagai tersangka kasus dugaan pembunuhan Munir.

Hal ini juga diperkuat dengan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang menjatuhkan vonis penjara empat belas tahun kepada Pollycarpus karena terbukti ia melakukan rencana pembunuhan terhadap Munir dengan menggunakan racun arsenik yang dimasukkan kedalam makanannya selama penerbangan Jakarta – Belanda. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat semakin diperkuat kembali dengan Putusan yang dikeluarkan oleh Pengadilan Tinggi DKI Jakarta.

Dalam kronologi yang saya jelaskan, terdapat beberapa poin penting yang perlu kemudian di analisis secara lebih mendalam dalam ruang lingkup hukum pidana Indonesia dengan merujuk pada Kitab Undang-Undang Pidana & Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

  1. Tindak Pidana Pembunuhan Berencana, poin penting dalam kasus yang tidak pernah terselesaikan ini hingga saat ini adalah terkait tindak pidana perampasan nyawa dengan rencana sebagaimana memenuhi unsur delik Pasal 338 KUHP jo. Pasal 340 KUHP. Pelaku delik Pasal 340 KUHP dapat dijerat dengan pidana mati atau pidana seumur hidup atau paling lama dua puluh tahun. Argumen saya memasukkan delik Pasal 340 KUHP adalah perbuatan pelaku pembunuhan yang sudah memiliki alat untuk melakukan tindak pidana kemudian dengan sengaja merencanakan peristiwa pidana tersebut sebelum pesawat lepas landas, dari unsur tersebut hemat saya pembunuhan ini bukan hanya sekedar merampas nyawa orang lain secara sengaja saja tetapi ada rencana-rencana yang dibangun secara terstruktur, sistematis, dan kompleks dalam mewujudkan peristiwa pidana tersebut.
  1. Perkara yang Wajib Diadili oleh Pengadilan Indonesia, walaupun locus delicti peristiwa tersebut terjadi bukan di wilayah hukum Republik Indonesia, pelaku pembunuhan Cak Munir tetap harus diadili di Indonesia dan menurut hukum positif Indonesia. Argumen ini diperkuat dengan adanya Pasal 3 KUHP yang berbunyi

       “Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia berlaku bagi setiap orang yang di luar wilayah Indonesia melakukan tindak pidana di dalam kendaraan air atau pesawat udara Indonesia”

Cak Munir dibunuh di pesawat milik maskapai Garuda Indonesia juga yang mana merupakan Badan Usaha Milik Negara, sehingga pelaku pembunuhan wajib diadili di Indonesia dengan hukum positif  Indonesia.

  1. Putusan Kasasi yang Dibatalkan Mahkamah Agung, Pollycarpus dijatuhi vonis 14 tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat karena terbukti melakukan pembunuhan terhadap Cak Munir dengan dakwaan Pasal 340 KUHP jo. Pasal 55 Ayat (1) jo. Pasal 263 KUHP Ayat (2). Putusan tersebut kembali diperkuat oleh putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Namun, hal ini berubah ketika Mahkamah Agung membatalkan putusan kasasi yang diajukan. Mahkamah Agung menolak kasasi yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum dan mengabulkan kasasi yang diajukan oleh terdakwa melalui putusan Mahkamah Agung No. 1185 K/PID/2006. Hal ini otomatis membatalkan putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta dengan nomor putusan 16/PID/2006/PT.DKI yang juga membatalkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan nomor putusan 1361/Pid.B/2005/PN.Jkt.Pst.

Mahkamah Agung membatalkan dakwaan Pasal 340 KUHP jo. Pasal 55 KUHP tentang pembunuhan berencana, namun tetap pada dakwaan pemalsuan surat sebagaimana didakwakan kepada Pollycarpus sesuai Pasal 263 Ayat (2) KUHP yang kemudian menimbulkan pengurangan masa pidana penjara menjadi hanya dua tahun. Hal ini tentu mengejutkan banyak pihak, banyak pihak yang merasa bahwa Pollycarpus bukanlah dalang dari pelaku pembunuhan Cak Munir melihat dari putusan pengadilan yang terkesan semakin diperingan terutama di tingkat kasasi oleh Mahkamah Agung.

Hingga saat ini kasus pembunuhan Cak Munir masih menjadi sorotan pada momen September Hitam. Sebuah sejarah kelam penegakkan HAM di Indonesia. Semua upaya untuk mengungkap kasus tersebut seolah dibiarkan terbengkalai dan dokumen yang disusun oleh Tim Pencari Fakta (TPF) seolah hilang tanpa jejak hingga saat ini.

Ini bukti bahwa Indonesia masih belum serius dalam menegakkan Undang-Undang nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Serta abai terhadap penegakkan demokrasi yang sehat dimana dinamika dalam penyelenggaraan negara harusnya menjadi suatu hal biasa. Namun hingga saat ini, upaya kritik selalu dibungkam dengan permainan cantik seolah menjadikan pucuk pimpinan pemerintah adalah seorang raja yang berdiri diatas kuasa tirani.

More Articles