Indonesia merupakan negara dengan jumlah penduduk yang cukup besar, yakni 270,20 juta jiwa per tahun 2020 menurut Badan Pusat Statistik.[1] Sudah semestinya segala macam urusan administrasi pemerintah yang memiliki dampak luas terhadap masyarakat tidak lagi mengandalkan sistem yang kuno, manual, dan kolonial sementara era yang sedang dihadapi oleh Bangsa Indonesia saat ini adalah era digitalisasi serta komputerisasi. Dengan jumlah penduduk ratusan juta, sudah semestinya Indonesia memiliki suatu sistem administrasi yang terancang, sistematis, aman, dan pastinya terpadu yang ramah terhadap penggunanya dalam arti mudah untuk digunakan dan diakses.
Sistem administrasi Indonesia yang sudah mengalami masa digitalisasi adalah E-KTP atau Kartu Tanda Penduduk dan juga SIM atau Surat Izin Mengemudi. Dua contoh bentuk digitalisasi terhadap sistem administrasi kependudukan tersebut mencontohkan bahwa dua institusi utama (Ditjen Dukcapil & Polri) telah meninggalkan sistem kuno mereka ke arah yang lebih modern dengan reformasi dalam sistem mereka dan mengeluarkan E-KTP serta SIM yang bukan hanya sebuah kartu belaka melainkan memiliki multifungsi yang lain seperti menjadi dompet elektronik dan lain sebagainya.
Sama halnya yang dilakukan oleh Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) yang tidak mau ketinggalan pada momen digitalisasi yang terjadi secara masif di Negara Indonesia. Tepat pada tahun 2021 ini, Kementerian ATR/BPN melalui Peraturan Menteri ATR/BPN Nomor 1 Tahun 2021 resmi mengeluarkan kebijakan baru yakni Sertifikat Tanah Elektronik/e-sertifikat tanah (Sertipikat Elektronik). Permen ATR/BPN No. 1 Tahun 2021 menandakan berakhirnya masa sertifikat tanah yang berbentuk fisik dan mengubahnya menjadi bentuk digital yang dapat diakses melalui telepon genggam maupun perangkat elektronik lain.
Sertifikat tanah elektronik atau e-sertifikat tanah memiliki sistem keamanan yang tentunya juga sudah ditingkatkan mengikuti perkembangan zaman, data-data administrasi yang tercantum dalam e-sertifikat tanah tersebut disimpan dalam database milik Kementerian ATR/BPN, selain itu sertifikat tersebut dilengkapi dengan kode unik khusus, nomor identifikasi bidang, dan juga sebuah QRCode yang apabila dipindai akan memunculkan gambar bidang tanah, beserta keterangan surat ukurnya, dan pengesahan e-sertifikat tersebut ditandai dengan tanda tangan elektronik dari pejabat Kementerian ATR/BPN dan cap dari badan pertanahan setempat. Tak dapat dipungkiri memang seharusnya program ini menorehkan respon positif melihat kecanggihan keamanan yang ditawarkan oleh Kementerian ATR/BPN dalam produk e-sertifikat tanahnya. Namun, hal tersebut juga menimbulkan munculnya potensi permasalahan yang dapat muncul dari segala kecanggihan yang dimiliki oleh sertifikat tanah elektronik.
Pertama, data-data administrasi tersebut disimpan dalam database yang dimiliki oleh Kementerian ATR/BPN tentu sangat beresiko terjadinya serangan siber dengan berbagai macam model serangan misalnya DDOS, Brute Force, dan model peretasan lainnya yang dapat mengganggu keamanan data masyarakat luas dan tentunya berdampak masif. Tentu hal tersebut dapat berpotensi terjadinya pencurian data secara melawan hukum.
Kedua, perlu adanya pengembangan kemampuan sumber daya manusia baik dari birokrasi Kementerian ATR/BPN sebagai pihak utama yang mewakili pemerintah dalam urusan pertanahan maupun pihak masyarakat terutama masyarakat yang belum melek akan teknologi. Tentu sebuah perubahan haruslah dibarengi dan diiringi oleh peningkatan kualitas kemampuan sumber daya manusia. Sebuah permasalahan apabila dikemudian hari pejabat pertanahan ternyata tidak mampu mengoperasikan aplikasi pendukung e-sertifikat tanah tersebut. Begitupun dengan masyarakat yang berada jauh dari kota-kota besar dan belum melek akan teknologi dan tentu akan menjadi sebuah kendala apabila masyarakat tidak mengerti atau bahkan tidak tahu ada program e-sertifikat.
Berdasar dua permasalahan di atas sejatinya bukan berarti program e-sertifikat tanah harus ditolak. Digitalisasi harus tetap dijalankan karena era globalisasi tidak akan pernah bisa kita hindari. Dengan populasi masyarakat Indonesia yang semakin meningkat setiap harinya tentu tidak dapat lagi masalah administrasi menjadi hal yang dikesampingkan, perlu adanya pembaharuan salah satunya dengan e-sertifikat tanah. Berdasarkan pemaparan masalah diatas penulis mengemukakan beberapa saran yang dapat dilakukan oleh Kementerian ATR/BPN
- Memperkuat kemanan siber terutama yang berkaitan dengan data banyak orang. Hal ini dapat dilakukan dengan mengadakan pelatihan khusus untuk pejabat yang nantinya akan mengelola langsung data base yang berisi data-data pertanahan nasional
- Mengadakan pelatihan rutin kepada petugas yang nantinya akan terjun ke lapangan untuk membantu masyarakat mendaftarkan tanahnya atau melakukan pengubahan terhadap sertifikatnya
- Menggalakan sosialisasi masif mengenai program e-sertifikat tanah terutama kepada masyarakat yang masih kurang paham mengenai teknologi.
Demikian pendapat yang penulis kemukakan dalam esai opini singkat ini. Mudah-mudahan bermanfaat.
[1] Berita Resmi Statistik No. 07/01/Th. XXIV. 21 Januari 2021. Diakses pada Tanggal 5 Maret 2021