Peran Mahkamah Konstitusi Dalam Perbaikan Konstitutalisme Ketatanegaraan Indonesia

Share This Post

Identitas Indonesia sebagai negara hukum telah diamanatkan secara tertulis dalam Pasal 1 Ayat 3 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disingkat menjadi UUD NRI 1945) yang menjadi landasan dan pilar penting dalam melaksanakan ketatanegaraan sesuai cita dan amanat Pancasila. Konsekuensi atas konsep negara hukum tersebut, maka seluruh penyelenggaraan negara baik pemerintahan maupun lembaga negara dan seluruh elemen di Indonesia haruslah berlandaskan pada hukum dan dapat dipertanggungjawabkan secara hukum. Oleh karena itu diperlukan suatu norma yang bersifat stagnan yang disebut Konstitusi, bahkan Max Boli Sabon menyebutkan bahwa “tanpa konstitusi   negara tidak mungkin ada”. Pernyataan  ini  didasarkan  pada  suatu  kenyataan  bahwa  tidak ada satupun negara di dunia sekarang ini yang tidak mempunyai konstitusi atau Undang-Undang Dasar. Konstitusi yang dimiliki oleh Indonesia berbentuk dokumen tertulis yang diwujudkan dalam UUD NRI 1945, yang berisikan sebuah norma atau prinsip dasar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Konstitusi tersebut wajib pula diartikan sebagai supremasi konstitusi atau pemimpin tertinggi dalam negara hukum dan harus memiliki sifat stabil dari pada produk hukum lainnya. Hal tersebut dikarenakan Konstitusi akan membawa implikasi yang besar terhadap segala pelaksanaan sistem penyelenggaraan ketatanegaraan.

Konstitusi bukan hanya sebagai pedoman dalam pembangunan hukum nasional namun juga terhadap pelaksanaan ketatanegaraan di Indonesia mengingat kedudukan Konstitusi sebagai pemimpin tertinggi di negara hukum, maka sudah sepantasnya marwah hukum dikembalikan kepada tujuan awalnya untuk menciptakan keadilan dan keharmonisan hukum dalam kehidupan masyarakat. Salah satu langkah yang dapat ditempuh ialah dengan memperbaiki sistem ketatanegaraan di Indonesia.

Upaya dalam melakukan perbaikan terhadap ketatanegaraan di Indonesia dapat ditempuh dengan cara memperperkuat peran suatu lembaga negara yang fungsinya telah diatur dalam Konstitusi, yaitu melalui Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Konstitusi di Indonesia acap kali disebut sebagai pengawal Konstitusi, penafsir Konstitusi, dan pengawal demokrasi (the guardian and the sole interpreter of the constitution, as well as guardian of the process of democratization). Kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam melaksanakan prinsip checks and balances akan menempatkan semua Iembaga negara dalam kedudukan yang setara dan sama, sehingga terdapat keseimbangan dalam penyelenggaraan negara. Keberadaan Mahkamah Konstitusi merupakan langkah progresif untuk mengoreksi kinerja antar lembaga negara khususnya dalam proses perbaikan ketatanegaraan di Indonesia.

Dalam melaksanakan perannya sebagai the guardian and the sole interpreter of the constitution, as well as guardian of the process of democratization, Mahkamah Konstitusi memiliki empat kewenangan dan satu kewajiban yang dijabarkan melalui Pasal 24C ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, yang berbunyi:

“Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final  untuk  menguji  undang-undang  terhadap  Undang-Undang  Dasar,  memutus  sengketa  kewenangan  lembaga  negara  yang  kewenangannya  diberikan  oleh  Undang-Undang  Dasar,  memutus  pembubaran  partai politik dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.”.

Salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah Judicial review yang tertulis dalam Pasal 24C ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 sebagai lembaga yang berwenang menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar. Dalam melakukan Judicial review berkaitan erat dengan perbaikan sistem ketatanegaraan, karena dengan putusannya secara langsung berperan dalam terwujudnya sistem hukum juga mekanisme ketatanegaraan yang sesuai Pancasila dan UUD NRI 1945.

Melihat betapa berpengaruhnya putusan Mahkamah Konstitusi dalam mewujudkan sistem ketatanegaraan yang baik, maka perlu adanya penguatan terkait peran dan fungsi Mahkamah Konstitusi agar dalam pelaksanaanya dan wewenangnya sesuai dengan cita UUD NRI 1945. Penguatan tersebut di maksudkan agar Mahkamah Konstitusi senantiasa dapat memutus sengketa yang menjadi ranahnya sesuai dengan yang di amanatkan dalam UUD NRI 1945 sehingga Mahkamah Konstitusi dapat berfokus menangani juga memutus perkara yang diatur dalam Konstitusi. Mahkamah Konstitusi dapat mengawal politik hukum nasional dalam melakukan perbaikan sistem ketatanegaraan, terlebih lagi putusan yang dihasilkan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan mengikat (final and binding), sehingga dampaknya tidak ada lembaga yang berjalan keluar dari koridor Konstitusi.

Namun, putusan yang dihasilkan oleh Mahkamah Konstitusi tersebut memunculkan permasalahan baru, yaitu terkait sifat final dan mengikat putusan Mahkamah Konstitusi dari aspek law in action atau praktik. Bahwa masih ditemukan putusan Mahkamah Konstitusi yang tidak dijalankan secara konsekuen sebagaimana diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan (non-executiable). Akibatnya, keberadaan putusan MK hanya mengambang (floating execution) dan tidak dilaksanakan secara konsekuen oleh pihak yang seharusnya menindaklanjuti putusan tersebut (addressat).

Pertama, hal tersebut dibuktikan dengan adanya Putusan Mahkamah Konstitusi yang tidak ditindaklanjuti, yaitu Putusan Nomor 97/PUU-XI/2013 tentang Pengujian Undang-Undang No. 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Mahkamah Konstitusi melalui putusannya mengatakan bahwa kewenangan yang diberikan kepada Mahkamah Konstitusi dalam penyelesaian sengketa hasil pemilihan kepala daerah dan wakil  kepala  daerah  oleh  UUD NRI  1945  sebagai  hukum  tertinggi  merupakan  ketentuan  yang inkonstitusional. Namun, pasca putusan Mahkamah Konstitusi itu dikeluarkan, belum ada tindaklanjut atau eksekusi dari putusan tersebut. Meskipun di atur setelahnya bahwa Mahkamah Konstitusi masih menyelesaikan sengketa hasil pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah sebelum adanya Badan Peradilan Khusus Penyelesaian Sengketa Pilkada.

Kedua, Mahkamah Konstitusi yang dimiliki oleh Indonesia tidak memiliki kewenangan untuk melakukan judicial preview. Menurut mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Jimly Asshiddiqie dalam bukunya Model-Model Pengujian Konstitusional di Berbagai Negara, Judicial Preview adalah model pengujian undang-undang yang masih dalam tahap perancangan atau rancangan undang-undang yang biasa di istilahkan juga dengan constitutional review terhadap rancangan undang-undang. Mahkamah Konstitusi hanya memiliki kewenangan menguji undang-undang yang telah menjadi ius constitutum atau hukum positif saat ini. Berbeda dengan la conseil constitutionnel  atau Dewan Konstitusi milik Perancis yang memiliki kewenangan constitutional review terhadap rancangan undang-undang atau judicial preview. Bahwasannya kewenangan Mahkamah Konstitusi yang paling banyak dijalankan adalah pengujian materiil undang-undang terhadap UUD NRI 1945 dengan model judicial review yang membuat masih tingginya angka permohonan judicial review kepada Mahkamah Konstitusi, hal ini menunjukkan bahwa masih buruknya penyusunan produk legislasi di Indonesia. Selain itu model judicial review dianggap banyak merugikan keuangan negara, hal ini diperkuat oleh data dari Indonesian Budget Center (IBC) yang mengatakan bahwa anggaran pembuatan suatu rancangan undang-undang jika dirata-ratakan dapat mencapai sekitar Rp. 6,56 miliar. Dengan anggaran yang sedemikian besar sungguh sayang apabila rancangan undang-undang yang telah menelan biaya miliaran tersebut harus dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi karena adanya cacat formil ataupun materiil seperti yang pernah terjadi di Indonesia pada tahun 2018, putusan Nomor 16/PUU-XVI/2018 terkait pengujian Undang-Undang MD3 dikabulkan oleh MK. Melihat urgensi tersebut, dirasa perlu adanya mekanisme yang disebut dengan judicial preview dijadikan salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi dengan cara menambahkan kewenangan Mahkamah Konstitusi melalui amandemen aturan yang berkaitan dengan Mahkamah Konstitusi.

Berdasarkan contoh di atas, telah menunjukkan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi masih mengambang dan bahkan cenderung diabaikan oleh penyelenggara negara. Putusan Mahkamah Konstitusi hanya bersifat tegas secara teoritis, namun justru tumpul secara praktik. Pada aspek keadilan dan kepastian hukum, tentu ini menjadi persoalan yang sangat serius. Mengingat putusan tersebut merupakan jawaban untuk menjawab permasalahan di masyarakat, namun jika putusan tersebut tidak dilaksanakan maka keadilan dan kepastian hukum yang ingin dicapaipun hanya sebatas tertulis saja. Apabila hal tersebut terus berlanjut, maka Mahkamah Konstitusi akan kehilangan marwahnya sebagai lembaga negara yang bertugas mengawal (to guard) konstitusi dan juga Mahkamah Konstitusi hanya akan terus menyelesaikan perkara yang inkonstitusional mengingat sengketa hasil pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah jauh lebih banyak secara permohonan ketimbang sengketa hasil pemilihan Presiden dan Wakil Presiden. Sehingga, berdasarkan permasalahan yang telah dipaparkan di atas, perlu adanya pengoptimalan serta penguatan peran dan fungsi Mahkamah Konstitusi secara keseluruhan dan fokus kembali pada perkara yang memang diatur secara tertulis dalam konstitusi dalam rangka memperkuat perbaikan ketatanegaraan dan pembangunan hukum nasional di Indonesia.

More Articles