Playing God” : Pencabutan Alat Penunjang Hidup pada Pasien Mati Batang Otak Dalam Kacamata Peraturan Hukum di Indonesia

Share This Post

Euthanasia akan selalu menjadi topik yang menuai kontroversi. Saat mendengar kata euthanasia, kebanyakan orang awam cenderung bersikap negatif. Perspektif miring ini timbul akibat pemahaman  bahwa euthanasia terbatas pada tindakan “assisted suicide” atau melakukan tindakan yang mengakhiri kehidupan dengan persetujuan. Padahal, ada kalanya penghentian hidup dilakukan saat orang tersebut sudah dinyatakan meninggal secara medis. Apakah hal tersebut bisa dikatakan sebagai pembunuhan, ketika “secara medis” seseorang sudah tidak bernyawa?  Kemudian, keadaan pasien mati batang otak juga menantang perspektif awam dari euthanasia yaitu “dengan persetujuan”. Secara teoritis, saat seseorang mengalami mati batang otak, dia akan terbaring koma dengan keadaan tidak sadarkan diri dan tidak dapat memberikan respons (Kumar, 2013).

Hal yang selanjutnya juga menuai pertanyaan, apakah tindakan dokter atau tenaga medis yang melakukan penghentian hidup terhadap pasien mati batang otak dapat dibenarkan?  Ketika dokter atau tenaga medis menghentikan atau mencabut alat penunjang hidup dari tubuh pasien, mereka  seolah – olah memainkan peran Tuhan dengan menjadi penentu terhadap berakhirnya kehidupan pasien “Playing God.” Secara etis, tindakan tersebut dianggap sejalan dengan frase “ to do no further harm” dalam sumpah Hipokrates (Paris, 1995). Tindakan dokter yang mencabut alat – alat penunjang hidup yang terpasang di tubuh pasien dianggap sebagai tindakan yang “mengakhiri” penderitaan pasien dan “menyelamatkan” pasien  dari kondisi hidup yang tidak lagi berkualitas. Akan tetapi, bagaimanakah kacamata yuridis menilai hal tersebut?

Definisi dan Pembagian Euthanasia

Secara luas, Euthanasia memiliki arti sebagai tindakan yang mengakhiri hidup seseorang secara sengaja untuk menghilangkan penderitaannya. Dari euthanasia dikenal berbagai perumusan, salah satunya adalah rumusan dari Euthanasia Study Grup dari Ikatan Dokter Belanda:

Euthanasia dengan sengaja tidak melakukan sesuatu (natalen) untuk memperpanjang hidup seorang pasien atau sengaja melakukan sesuatu untuk memperpendek atau mengakhiri hidup seorang pasien, dan semua itu dilakukan khusus untuk kepentingan pasien itu sendiri.” (Ameln, 1991)

Dari definisi tersebut dikenal 2 jenis Euthanasia yaitu aktif dan Pasif, yang kemudian terbagi lagi menjadi beberapa jenis:

  1. Euthanasia Pasif : Saat dokter atau tenaga medis lainnya secara sengaja tidak (lagi) memberikan bantuan medis kepada pasien. Padahal, bantuan medis tersebut dapat memperpanjang hidup si Pasien.
  2. Euthanasia Aktif: saat dokter atau tenaga kesehatan lainnya secara sengaja melakukan tindakan untuk mempersingkat atau pun mengakhiri hidup si pasien.

Kemudian, ditinjau dari permintaanya, yakni:

  1. Euthanasia Voluntir: dilakukan oleh petugas medis berdasarkan permintaan pasien dalam kondisi sadar, berulang – ulang, dan tanpa tekanan dari siapapun
  2. Euthanasia involuntir: Jenis euthanasia yang dilakukan pada pasien dalam keadaan tidak sadar yang tidak mungkin untuk menyampaikan keinginannya. (Amir, 1997)

Dengan ini, secara teoritis, tindakan dokter atau tenaga medis lainnya yang mencabut ventilator dengan tujuan menghentikan pemberian nafas secara artifisial, termasuk dalam euthanasia aktif dan Euthanasia involuntir.

Mati Batang Otak sebagai Definisi Baru dari Kematian

Akan tetapi dalam prakteknya, penghentian pemberian penunjang hidup pada pasien mati batang otak masih diperdebatkan, apakah hal tersebut sama dengan tindakan euthanasia atau tidak. Hal ini karena dalam ranah medis dikenal definisi baru dari kematian. Sebelum tahun 1800-an, kematian hanya terjadi saat seseorang berhenti bernafas dan jantungnya berhenti berdetak. Namun, saat ventilator ditemukan, tidak jarang terdapat pasien yang masih bernafas dan memiliki detak jantung, tetapi otaknya sudah mati. (Manik, 2017).

Otak menjadi bagian yang penting dari tubuh manusia, terutama batang otak yang, singkatnya, menjadi “jembatan” antara otak besar dan saraf tulang belakang. Secara lebih rinci, batang otak terdiri dari Mensefalon, yang berfungsi mengantar sinyal refleks auditoris dan visual; Pons, yang mengandung satu dari pusat pernapasan; dan Medula oblongata, yang mengatur fungsi respirasi, vasomotor dan kardiak. (Unhas, 2016)

Pada 1959, Morallet dan Goulon mengenalkan istilah “koma dépassé” atau koma irreversibel , dengan 23 pasien koma yang tidak sadar, refleks batang otak, berhentinya fungsi pernafasan, serta gelombang electroencephalogram yang datar. Hal ini lah yang kita kenal dengan istilah mati batang otak. Akhirnya, pada 1968, Komite Ad Hoc di Harvard meresmikan keadaan mati batang otak sebagai definisi baru dari kematian. (Steven laureys, 2005)

Penghentian Alat Penunjang Hidup pada Pasien Mati Batang Otak sebagai “Pseudo-Euthanasia

Kini, telah ada pembedaan antara mati klinis dan mati vegetatif sebagai akibat dari diakuinya mati batang otak (brainstem death) sebagai kriteria baru untuk matinya seseorang di dunia medis. Mati klinis mengacu pada pengertian kematian secara tradisional, yaitu absennya denyut nadi dan pernapasan. Sedangkan mati vegetatif adalah keadaan di mana otak seseorang tidak lagi berfungsi, sehingga menyebabkan kematian intelektual dan psikis. Hal ini karena fungsi manusia seperti berpikir dan merasa hanya dapat aktif jika otak masih bekerja (Ameln, 1991). Terhadap penghentian kehidupan pada kondisi ini, Leenen memberikan istilah “Pseudo-Euthanasia” atau Euthanasia semu.

Para praktisi hukum masih berbeda pendapat tentang apakah penghentian hidup pada pasien yang secara vegetatife telah meninggal masuk dalam eunthanasia aktif dan euthanasia involuntariy; apakah tindakan tersebut termasuk bentuk yang mirip saja dengan euthanasia. Terhadap hal ini, Penulis lebih condong terhadap pendapat bahwa tindakan melepaskan alat penunjang hidup yang dilakukan oleh dokter atau tenaga medis lainnya terhadap pasien mati batang otak, digolongkan sebagai Pseudo-Euthanasia. Argumen ini didasarkan pada bagian dari definisi rumusan euthanasia oleh Euthanasia Study Grup dari Ikatan Dokter Belanda, yaitu : “…..melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu untuk memperpendek atau mengakhiri hidup seorang pasien…” Penulis berpendapat bahwa definisi “hidup” dari manusia harus dipandang sebagai kesatuan dari kemampuan bekerjanya organ vital dan kemampuan manusia untuk bekerja secara psikis, seperti merasa, berpikir, memberikan respons, menunjukan emosi, dan sebagainya. Dengan demikian, “pengakhiran hidup” dalam definisi euthanasia, tidak dapat dilakukan pada pasien mati batang otak karena secara medis, dia telah dinyatakan meninggal.

Batasan Euthanasia dan Euthanasia Semu (Pseudo Euthanasia)

Hadirnya pseudo-euthanasia dengan euthanasia masih menuai polemik. Garis batas antara kapan suatu tindakan dinyatakan sebagai pseudo euthanasia dan euthanasia masih bersifat kabur. Pembatasan ini menjadi penting karena akan berimplikasi pada dampak hukumnya. Terhadap masalah ini, Riri Irmanti, dalam skripsinya menyatakan bahwa perbedaan mendasar antara euthanasia dan pseudo euthanasia terletak pada unsur niat dan tujuan. Pada euthanasia, semenjak awal telah direncanakan sejak awal perawatan, bahwa tindakan medis yang diberikan bertujuan untuk menghilangkan nyawa pasien, sehingga tujuannya sudah jelas yakni kematian pasien. Sedangkan dalam pseudo euthanasia: “tujuan dilakukannya tindakan medis untuk meringankan sakit pasien atau suatu batasan tindakan medis yang dapat dilakukan oleh tenaga medis ketika tercapai suatu kondisi yang tidak dapat diramalkan di awal. Sehingga hilangnya nyawa pasien bukan hal yang dituju dan/ atau pasti terjadi.” (Irmanti, 2016)

Dari pendapat di atas, Penulis beranggapan bahwa unsur “keadaan tidak sadar” dalam definisi euthanasia involuntary, bisa terjadi saat Pasien berada dalam kondisi koma. Namun,  berada dalam kondisi koma bukan berarti mati batang otak. Apabila ada kemungkinan untuk sadar dari kondisi koma, seseorang tidak bisa dinyatakan mati batang otak. (Alodokter, 2021).  Kemudian, berkaitan dengan “tidak mungkin atau tidak dapat menyatakan kehendaknya” dapat terjadi jika pasien adalah seorang bayi yang belum bisa berkomunikasi atau seseorang yang mengalami cacat mental. Sehingga, menurut hemat Penulis, perlu dicatat bahwa batasan pencabutan alat yang dilakukan oleh dokter atau tenaga medis lainnya, dapat dikategorikan sebagai pseudo euthanasia, hanya jika pasien tersebut ditetapkan secara medis telah mengalami mati batang otak, terlepas dari umur pasien atau pun kesehatan psikisnya.

Selanjutnya, pembatasan Penulis terhadap mati batang otak sebagai syarat utama pencabutan alat penunjang hidup, menjadi dasar keberatan Penulis terhadap pandangan Irmanti bahwa pseudo-euthanasia bertujuan untuk meringankan penderitaan pasien.  Ketika seorang pasien dinyatakan mati batang otak, maka secara psikis dan jasmaniah, pasien tersebut sudah tidak bisa merasakan rasa sakit. Sehingga, dalam hal pseudo-euthanasia, Penulis hanya setuju terhadap pandangan bahwa “pseudo-euthanasia adalah batasan tindakan medis yang dapat dilakukan oleh tenaga medis ketika tercapai suatu kondisi yang tidak dapat diramalkan di awal”. (Irmanti,2016) . “Pembatasan” artinya kondisi mati batang otak adalah “batas” bahwa tindakan medis atau pun pemberian obat lebih lanjut tidak lagi memiliki dampak pada pasien.

Perundang – undangan di Indonesia mengenai pseudo-euthanasia

Peraturan formil di Indonesia belum mengatur secara eksplisit antara pseudo-euthanasia dan euthanasia. Padahal pembedaan ini merupakan hal yang penting karena tindakan pseudo-euthanasia sering disamakan dengan tindakan euthanasia secara aktif, yang daincam dengan hukuman pidana. Dilihat dari aspek hukum pidana, euthanasia aktif dalam bentuk apapun dilarang oleh Pasal 344 Kitab Undang – Undang Hukum Pidana (“KUHP”): “Barang siapa merampas nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.” Terhadap pasal ini, kondisi mati batang otak dapat menggugurkan unsur “atas permintaan orang itu sendiri” karena orang yang mati batang otak berada dalam kondisi tidak sadar dan telah kehilangan fungsi psikis dan jasmani untuk menyatakan pendapatnya.

Sedangkan tindakan euthanasia aktif maupun pasif tanpa permintaan diancam dengan beberapa pasal di dalam KUHP, diantaranya pasal 338 KUHP: “Barangsiapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.” Terhadap pasal 338 ini, kondisi mati batang otak  menjadi dasar gugurnya unsur pidana seorang dokter atau tenaga medis lainnya yang melakukan pencabutan alat penunjang hidup. Bersandar pada pendapat Fred Ameln yang menyatakan bahwa “tidak ada suatu tindakan melawan hukum jika secara medis telah dipastikan bahwa suatu tindakan medis tidak ada gunanya lagi” (Ameln, 1991).

Walaupun dalam KUHP diatur perampasan terhadap nyawa orang lain,  definisi hidup dan mati pada manusia tidak dijelaskan lebih lanjut. Namun, kondisi mati batang otak diakui sebagai bagian dari kematian pada Pasal 117 Undang – Undang (‘UU”) Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (“UU Kesehatan”): “Seseorang dinyatakan mati apabila fungsi sistem jantung sirkulasi dan sistem pernafasan terbukti telah berhenti secara permanen, atau apabila kematian batang otak telah dapat dibuktikan.” Secara prinsip, hal ini akan membuat posisi pseudo-euthanasia lebih jelas kedudukannya karena perampasan nyawa yang dicantumkan dalam Pasal 334 dan 338 tidak mungkin dilakukan terhadap orang yang sudah dinyatakan mati.

Hal yang paling penting, peraturan turunan dari UU Kesehatan yaitu Permenkes no 37 tahun 2004, memperbolehkan secara gamblang penghentian alat penunjang hidup bagi pasien yang mati batang otak, seperti tercantum dalam Pasal 13 butir 1: “Setelah seseorang ditetapkan mati batang otak, maka semua terapi bantuan hidup harus segera dihentikan.” Akan tetapi, yang menjadi catatan mendasar, pada pasal 9 ditentukan bahwa yang berhak menentukan kematian batang otak adalah dokter. Di samping itu, Permenkes ini juga memberikan kriteria yang membedakan antara koma dan koma karena mati batang otak secara rinci di dalam Pasal 11.         Selanjutnya, di Pasal 15 Permenkes ini, diatur pihak keluarga sebagai pihak yang mempunyai hak untuk meminta penghentian pemberian bantuan hidup terhadap pasien yang mengalami mati batang otak dengan ketentuan: 1) adanya surat wasiat dari Pasien; atau 2) Pasien yang belum berwasiat, tetapi keluarga yakin bahwa jika pasien akan menyetujui pemberhentian alat penunjang hidup, berdasarkan kepercayaannya dan nilai-nilai yang dianutnya.

Lex Specialis derogate Legi Generali terhadap ketentuan Euthanasia di KUHP

Kehadiran UU Kesehatan dan Permenkes no 37 tahun 2007 menjadi kemenangan besar bagi dokter dan tenaga medis. Walaupun, peraturan perundang – undangan di Indonesia belum membedakan secara tegas antara euthanasia dan pseudo euthanasia, diakuinya mati batang otak sebagai definisi dari kematian di tingkat UU dan Permenkes dapat menjamin tidak akan dipidananya dokter atau tenaga medis yang melakukan tindakan pseudo-euthanasia pada pasien mati batang otak. Dalam hal ini, adagium “Lex Specialis derogate Legi Generali” berlaku terhadap UU kesehatan sebagai aturan khusus (Lex Specialis) yang dapat mengesampingkan KUHP sebagai aturan umum (Lex Generalis). Secara tidak langsung, pseudo-euthanasia tidak memiliki akibat hukum karena Euthanasia yang disamakan dengan tindak pembunuhan dalam Pasal 334 dan 338 KUHP tidak mungkin dilakukan terhadap orang yang secara undang – undang dan medis sudah dinyatakan mati

Pustaka

Buku

Amir, Amri. Bunga Rampai Hukum Kesehatan. Jakarta: Widya Medisa, 1997

Ameln, Fred. Kapita Selekta Hukum Kedokteran. Jakarta: Grafikatama Jaya, 1991

Universitas Pertahanan. Bahan Ajar Mati Batang Otak. Cieterup: Universitas Pertahanan, 2016.

Bab dalam Buku

Kumar, Avinash B. “Coma and Brain Death” dalam A Practical Approach NeuroAnesthesia.  Tennessee:Wolters Kluwe, 2013. hal 404 – 414.

Jurnal

Paris, J. J., & Poorman, M. “”Playing God” and the removal of life-prolonging therapy”. The Journal of medicine and philosophy, 20(4). Hal. 403–418. https://doi.org/10.1093/jmp/20.4.40

Steven. Laureys. Science and society: death, unconsciousness and the brain. Nature reviews. Neuroscience. Nov 2005.  hal. 899–909. https://doi.org/10.1038/nrn1789

Skripsi/ Tesis

Manik, Judika Atma Togi. “Kajian Hukum Pidana Pasif Dalam Hukum Pidana di Indonesia,” Disertasi Doktor Universitas Sumatera Utara. Medan, 2017.

Irmanti, Riri. “Analisis Perintah “Jangan Lakukan Resusitasi” (Do Not Resucitae/ DNR) Sebagai Bentuk Euthanasia Semu (Pseudo-Euthanasia)”. Skripsi Sarjana Universitas Indonesia. Depok, 2016.

Internet

Alodokter. “Mati batang otak, Ketika Fungsi Otak Terhenti Total”. https://www.alodokter.com/mati-otak-ketika-fungsi-otak-terhenti-total#:~:text=Berada%20dalam%20kondisi%20koma%20bukan,mencari%20tahu%20dulu%20apa%20penyebabnya. Diakses pada Minggu, 11 April 2021.

Kementerian Keuangan Republik Indonesia, “Lelang Bersifat Lex Specialis”. https://www.djkn.kemenkeu.go.id/artikel/baca/12716/Lelang-Bersifat-Lex-Specialis.html#:~:text=Lex%20specialis%20derogat%20legi%20generali,bersifat%20umum%20(lex%20generalis).  Diakses pada Senin, 12 April 2021.

Peraturan Perundang – Undangan

Indonesia. Kitab Undang – Undang Hukum Pidana. Jakarta: Sinar Grafika, 1999.

______. Undang – Undang Kesehatan. Nomor 36 Tahun 2009. LN No 144 tahun 2009. TLN No. 5063.

_______. Peraturan Menteri Kesehatan Tentang Penentuan Kematian dan Pemanfaatan Organ Donor.  Permenkes no 37 tahun 2004.

More Articles