Rumah sakit merupakan salah satu instansi pelayanan publik yang hampir tidak akan pernah sepi pengunjung. Apabila merujuk pada definisi rumah sakit yang diatur dalam Pasal 1 UU No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, dapat diuraikan bahwa rumah sakit adalah instansi pelayanan kesehatan yang memberikan pelayanan kesehatan secara perorangan dengan menyediakan berbagai fasilitas pelayanan kesehatan.Rumah sakit memainkan peran penting sebagai tempat masyarakat dapat mengakses serta memperoleh pelayanan kesehatan, sesuai dengan Pasal 3 butir a UU No. 44 Tahun 2009. Oleh karena peran yang telah diatur dalam ketentuan Pasal 3 butir a tersebut, rumah sakit bersama dengan tenaga medis dan kesehatan hadir di masyarakat dan memberikan pelayanan kepada masyarakat yang sakit sebagai pasien mereka.
Menghadapi kenyataan tersebut, tugas pelayanan kesehatan tidaklah mudah. Berbagai masalah hadir, mulai dari jumlah pasien yang membludak, ketersediaan ruangan dan fasilitas di rumah sakit yang kurang memadai, hingga keterbatasan jumlah personil tenaga medis dan kesehatan. Rentetan masalah tersebut selalu menjadi tantangan penyelenggaraan medis di tengah masyarakat. Dalam kondisi ideal, permasalahan ini dapat diatasi melalui penetapan jangka waktu maksimal rawat inap di rumah sakit, kuota maksimal pasien yang dilayani tiap harinya, serta pemulangan pasien dengan gejala ringan. Namun, pada prakteknya tidak semua pasien dapat dengan mudah memahami keterbatasan pihak rumah sakit sehingga kerap muncul perasaan tidak puas dan rasa bahwa haknya sebagai pasien tidak terpenuhi.
Permasalahan ini menjadi lebih terasa nyata ketika dunia harus menghadapi pandemic Covid-19. Penyelenggara kesehatan harus bekerja ekstra karena tingkat penularan Covid-19 yang sangat tinggi dan masif. Mereka dituntut untuk memberikan pelayanan kesehatan kepada pasien yang terjangkit Covid-19 dan mereka yang menderita penyakit lain selain Covid-19 di saat yang bersamaan. Keadaan ini semakin memperberat beban rumah sakit sebagai penyelenggara pelayanan kesehatan yang harus menyediakan fasilitas perawatan bagi pasien Covid-19 dan sekaligus prosedur pencegahan penularan di lingkungan rumah sakit. Beban juga bertambah bagi tenaga medis dan tenaga kesehatan yang harus menangani kasus-kasus baru Covid-19 tanpa melupakan pasien berpenyakit lain. Semua ini mereka harus mereka lakukan dengan jumlah fasilitas yang belum tentu memadai, dengan berpakaian baju hazmat lengkap, dan dengan waktu jaga lebih lama (Dewi, 2021). Hal ini tidak jarang berpengaruh pada kesehatan fisik maupun psikis para tenaga medis dan kesehatan yang berakibat pada kemampuan mereka memberikan pelayanan terbaik bagi seluruh pasien rumah sakit (Humas FKUI, 2020).
Tantangan – tantangan pelayanan kesehatan yang sudah dipaparkan di atas, kerap membuat pasien berpikir bahwa pelayanan kesehatan yang dilakukan oleh tenaga medis tidak dilakukan dengan maksimal. Sehingga para pasien berpikir bahwa haknya untuk mendapatkan pelayanan medis yang maksimal, tidak terpenuhi. Para pasien gagal paham bahwa tenaga medis juga memiliki keterbatasan. Bahkan, sering kali pasien menimbulkan rasa tidak puas di diri tenaga medis, dengan mencederai hak tenaga medis. Misalnya, saat pasien meminta pelayanan lebih, kerap terjadi konflik verbal antara pasien dengan tenaga medis atau tenaga kesehatan yang sedang bertugas. Konflik verbal ini sering disebabkan oleh keterbatasan yang memaksa pihak rumah sakit untuk menolak memberikan pelayanan kepada pasien. Kondisi lain misalnya saat pihak rumah sakit melakukan kesalahan, pasien langsung melontarkan kata – kata kasar. Tidak jarang konflik verbal dapat bereskalasi menjadi konflik fisik di mana pada umumnya tenaga medis atau kesehatan menjadi korban kekerasan oleh pelaku yang justru adalah pasien atau kerabat pasien.
Konflik antara rumah sakit dan pasien dapat berlanjut terus – menerus, hingga ada kalanya pasien meminta bantuan pihak ketiga guna menyuarakan ketidakpuasannya terhadap dokter dan pihak rumah sakit. Fenomena ini dikenal dengan lobbying di mana pihak yang merasa dirugikan mencari dukungan guna memperkuat tuntutan dirinya terhadap pihak yang diyakini merugikan dirinya (CIPR, 2012). Dalam hal ini, bentuk lobbying yang sering terjadi adalah pasien mengadu dan/atau mengerahkan pihak ketiga seperti anggota Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) agar dapat menekan dokter atau tenaga kesehatan (nakes) yang bertugas dalam suatu instansi penyelenggara kesehatan. Bentuk tekanan dapat dilakukan secara verbal, memprovokasi pasien lain, atau melakukan kekerasan terhadap dokter atau nakes.
Kekerasan terhadap dokter dan nakes bukan merupakan permasalahan baru dan terbatas di ranah lokal saja. Fenomena ini semakin buruk di tengah pandemi Covid-19 dan kasus kekerasan meningkat secara global. Per bulan Juli 2020, International Committee of the Red Cross (ICRC) mencatat terdapat kurang lebih 600 kasus kekerasan yang telah dialami oleh dokter di 40 negara dalam kurun waktu dari bulan Februari 2020 (Rahayu, 2020). Adapun laporan terbaru oleh Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Berkeley dan Insecurity Insight mendapat telah terjadi sebanyak 1.100 kasus kekerasan atau ancaman kekerasan terhadap nakes di seluruh dunia (Zuhad, 2021). Di Indonesia sendiri, tercatat ada 12 kasus konflik antara pasien dan nakes perihal jenazah korban tertular virus Covid-19. Salah satunya adalah kasus penyerangan terhadap seorang dokter di Instalasi Gawat Darurat (IGD) RSUD Blambangan, Banyuwangi, pada tanggal 27 Juli 2020 pukul 23:45 WIB.
Kasus penyerangan dokter di Banyuwangi ini menarik untuk ditinjau kembali sebab banyak rangkaian peristiwa yang dapat ditinjau berdasarkan aspek hukum kesehatan. Untuk kronologi kasus itu sendiri, bermula ketika seorang pasien yang dibawa ke IGD RSUD Blambangan telah menerima penanganan dan dipulangkan untuk rawat jalan. Pasien kala itu dilarikan ke IGD bersama sekelompok orang dengan kondisi muntah darah (Fanani, 20203). Diketahui bahwa orang-orang yang bersama dengan pasien adalah anggota LSM Gerakan Masyarakat Bawah Indonesia (GMBI) yang datang untuk mengantar pasien ke IGD (Fanani, 20202). Ketika pasien dipulangkan, hal ini menimbulkan ketidakpuasan para anggota LSM yang menghendaki pasien dirawat inap di RSUD Blambangan. Oleh karena sikap agresif mereka dan tidak memakai masker, dokter jaga saat itu, dr. K (inisial) menegur dan menyuruh mereka untuk meninggalkan IGD (Fanani, 20203). Akibatnya anggota LSM yang berada di IGD tidak terima dan menyerang dr. K sebelum pergi meninggalkan IGD RSUD Blambangan.
Insiden ini merupakan peristiwa yang sangat disayangkan terutama di tengah pandemi Covid-19. Oleh karena peristiwa ini, Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Pengurus Cabang Banyuwangi menyuarakan penyelesaian secara hukum terhadap penganiayaan yang dialami oleh dr.K dalam surat nomor 45/A.2-1327/IDI-BWI/VII/2020 (Fanani, 20201). Tercantum sikap IDI Banyuwangi dalam surat tersebut:
“1. Menyesalkan kejadian di IGD RSUD Blambangan.
- Mengutuk keras semua tindakan main hakim sendiri.
- Mengharapkan kasus ini diselesaikan secara tuntas sesuai dengan aturan Hukum dan Perundang-undangan yang berlaku agar kasus serupa tidak terjadi di kemudian hari.”
Beberapa saat kemudian, pihak berwenang segara melakukan pergerakan. Hasilnya, ketua LSM GBMI distrik Banyuwangi, Subandik (37) diamankan pada Senin, 3 Agustus 2020 malam dan ditetapkan bertanggung jawab atas kejadian ini (Fanani, 20202). Beberapa hari kemudian, para anggota LSM yang menjadi pelaku kekerasan di IGD RSUD Blambangan berhasil juga ikut diamankan. Polisi menetapkan tersangka Subandik beserta 2 anggota LSM Mathari alias Hariri (34) dan Hariyono (34) dan menjerat mereka bertiga dengan Pasal 170 jo. 351 dan/atau jo. 214 KUHP karena melakukan kekerasan terhadap seorang pegawai negeri yang tengah melaksanakan tugas dengan ancaman pidana penjara paling lama 8 tahun (Fanani, 20204).
Dalam kasus kekerasan dokter di Banyuwangi, ada beberapa poin penting pada peristiwa tersebut yang dapat dikaji dalam aspek Hukum Kesehatan atau pun ilmu hukum lainnya. Beberapa peristiwa yang dapat diperhatikan adalah: a) pasien telah menerima perawatan di IGD, b) dokter memutuskan agar pasien dirawat jalan dan dapat dipulangkan, c) kerabat pasien (para anggota LSM GMBI) tidak menerima keputusan dokter, dan d) para anggota LSM memilih melakukan penyerangan terhadap dokter jaga. Patut diperhatikan juga hal ini terjadi di tengah pandemi dan para pelaku kala itu sedang tidak mengenakan masker ketika berada di RSUD Blambangan.
Poin-poin tersebut merupakan studi kasus yang menarik untuk diangkat dalam kajian hak dan kewajiban pasien maupun dokter. Tentu saja tidak semua rangkaian peristiwa atau tindak kekerasan yang terjadi dalam kasus tersebut berlaku sama untuk setiap kasus kekerasan terhadap tenaga medis atau kesehatan. Meskipun demikian, banyak aspek hukum yang sifatnya umum dan dapat dikaji dalam kaitannya dengan Hukum Kesehatan guna meminimalisir konflik antara pasien dengan dokter di kemudian hari.
Pertama, dalam aspek hukum kesehatan, harus dimengerti terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan hak dan kewajiban pasien. Melalui hak dan kewajiban ini, seorang pasien memiliki suatu jaminan bahwa ia akan menerima pelayanan kesehatan apabila ia menghormati hak dokter yang menanganinya. Apabila merujuk pada ketentuan yang diatur dalam SK PB IDI No. 221/PB/A.4/04/2002 tanggal 19 April 2002 tentang Penerapan Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI), maka beberapa ketentuan hak pasien yang berkaitan dengan kasus yang dikaji dapat diuraikan sebagai berikut (Hanafiah dan Amir, 2016, hlm. 67-68):
“1. Memperoleh pelayanan kedokteran yang manusiawi sesuai dengan standar profesi kedokteran.
- Memperoleh penjelasan tentang diagnosis dan terapi dari dokter yang mengobatinya.
- Dengan persetujuan pasien dirujuk kepada dokter spesialis kalau diperlukan dan dikembalikan kepada dokter yang merujuknya setelah selesai konsultasi atau pengobatan untuk memperoleh perawatan atau tindak lanjut.
- Memperoleh penjelasan tentang peraturan rumah sakit.”
Bersamaan dengan hak pasien yang telah dijabarkan di atas, terdapat juga kewajiban pasien yang menjadi hak seorang dokter. Adapun ketentuan mengenai kewajiban seorang pasien diatur dalam Pasal 53 UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran:
“a. memberikan informasi yang lengkap dan jujur tentang masalah kesehatannya;
- mematuhi nasihat dan petunjuk dokter atau dokter gigi;
- mematuhi ketentuan yang berlaku di sarana pelayanan kesehatan; dan
- memberikan imbalan jasa atas pelayanan yang diterima.”
Sebaliknya, seorang dokter juga memiliki kewajibannya terhadap pasien yang ditanganinya. Kewajiban ini diatur secara khusus dalam Bab 3 KODEKI dan Pasal 51 UU No. 24 Tahun 2009, Dalam Pasal 51 butir a UU no 24 Tahun 2009 mengatur bahwa seorang dokter memiliki kewajiban utama untuk memberikan pelayanan kesehatan berdasarkan standar profesinya. Selain itu, hak seorang dokter secara definitif diatur dalam Pasal 50 UU 24 Tahun 2009, dengan ketentuan perlindungan hukum diatur dalam butir a Pasal 50. Perlindungan diri ini merupakan haknya untuk melakukan pembelaan diri terhadap pasien yang tidak puas dan menuntut pelayanan lebih secara paksa (Hanafiah dan Amir, 2016, hlm. 75).
Setelah pemaparan hak dan kewajiban pasien dan dokter, maka berikutnya dapat dibahas mengenai perikatan yang timbul atas perjanjian yang dilakukan antara pasien dan dokter. Baik hak dan kewajiban pasien dan dokter timbul atas persetujuan antara kedua belah pihak yang pada dasarnya merupakan suatu bentuk perjanjian keperdataan (Hanafiah dan Amir, hlm. 61). Ketentuan tentang perjanjian sendiri telah diatur dalam Pasal 1313 KUHPer yang berbunyi:
“Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap suatu orang lain atau lebih.”
Ketentuan mengenai perjanjian tersebut dapat dinyatakan sah apabila memenuhi keempat syarat yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPer:
“a. memberikan informasi yang lengkap dan jujur tentang masalah kesehatannya;
- mematuhi nasihat dan petunjuk dokter atau dokter gigi;
- mematuhi ketentuan yang berlaku di sarana pelayanan kesehatan; dan
- memberikan imbalan jasa atas pelayanan yang diterima.”
Berdasarkan keempat syarat tersebut, maka agar pasien dan dokter terikat secara keperdataan, haruslah pasien menyetujui tindakan dokter dengan menandatangani Persetujuan Tindakan Kedokteran (PTK, seperti diatur dalam Permenkes RI No. 290/MENKES/III 2008 tentang PTK) dan ditandatangani oleh pasien dalam keadaan sadar atau perwakilan kerabat dekat yang cakap hukum (Berdasarkan Pasal 330 KUHPer, minimal berusia 21 tahun). Dengan demikian, kedua belah pihak telah terikat secara keperdataan dan memiliki tanggung jawab untuk saling memenuhi apa yang telah menjadi kewajiban masing-masing pihak.
Apabila pasien maupun dokter melanggar hak salah satunya dan terjadi tindak kekerasan oleh pihak pasien, atau pelanggaran etik atau pidana (malpraktik) oleh pihak tenaga medis, maka pihak yang menjadi korban dapat melaporkan kasus kekerasan atau malpraktik kepada pihak berwenang. Jika tindak kekerasan dilakukan oleh pasien, maka tenaga medis dapat melaporkan ke kepolisian agar dilakukan penyidikan dan pelaku pasien dapat dijerat dengan pasal pidana yang sesuai. Sebaliknya apabila pasien menjadi korban malpraktik maka dapat dilakukan pengaduan malpraktik yang ditujukan kepada Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) sesuai dengan ketentuan Pasal 66 UU No. 24 Tahun 2009.
Harus diingat bahwa pengaduan pidana dari kedua pihak merupakan ultimum remedium atau merupakan sanksi terakhir apabila tidak dapat ditemukan solusi jalan keluar lainnya (Santoso, 2020, hlm. 123). Berdasarkan kasus kekerasan terhadap dokter di Banyuwangi, maka pasal-pasal dalam KUHP yang dapat menjerat pelaku kekerasan adalah Pasal 170, 351, dan 214 KUHP. Adapun apabila seorang pasien mengajukan aduan kepada MKDKI, maka seorang dokter dapat dihukum dengan sanksi administratif (pelanggaran etik), hukuman disipliner (pelanggaran kedisiplinan), dan sanksi pidana (malpraktik) (Hanafiah dan Amir, 2016, hlm. 131).
Penjeratan pasal pidana pada kasus yang telah disebutkan dapat dihindari seandainya para anggota LSM tidak melakukan tindak penganiayaan terhadap dr. K. Peristiwa tersebut kemungkinan tidak akan terjadi apabila pasien beserta kerabat yang hadir tidak bermain hakim sendiri hingga mengakibatkan perjanjian hak dan kewajiban mereka dengan dokter batal. Pasien telah menerima haknya untuk dilayani oleh dokter jaga saat itu, yaitu dr. Riyani, dan bersamaan dengan itu kewajiban dokter juga telah dipenuhi untuk memberikan pelayanan. Adapun dr. Riyani menilai bahwa pasien layak dirawat jalan sehingga merupakan kewajiban pasien untuk menaati nasihat yang diberikan oleh dokter.
Ketidakpuasan yang dirasakan oleh pihak pasien seharusnya dapat diselesaikan dengan tenang dan tanpa terjadinya tindak pidana. Selain melanggar perjanjian keperdataan dengan tidak melaksanakan kewajiban pasien untuk menaati nasihat dokter, anggota LSM juga melanggar protokol kesehatan dengan tidak memakai masker yang telah diatur dalam Lampiran hlm. 7 Kepmenkes No. HK.01.07/MENKES/382/2020 Tahun 2020 tentang Protokol Kesehatan Bagi Masyarakat di Tempat dan Fasilitas Umum Dalam Rangka Pencegahan dan Pengendalian Corona Virus Disease 2019 (COVID-19). Sekali lagi, pasien telah memperoleh haknya untuk mendapat penjelasan tentang peraturan rumah sakit, tetapi ditanggapi dengan tidak menaati peraturan tersebut. Ketika pasien melanggar hak dokter yang melayani dengan melakukan tindak pidana, maka berlaku hak seorang dokter untuk mendapat perlindungan hukum dalam menjalani profesinya.
Melalui kasus kekerasan terhadap dr. K oleh anggota LSM di Banyuwangi, dapat ditarik pembelajaran dari perspektif hukum bahwa pada dasarnya hukum adalah perelaan kepentingan atau hak individu untuk menjaga ketertiban dan menjamin tidak dilanggarnya hak salah seorang individu dalam lingkungan masyarakat (Mertokusumo, hlm. 3-7). Konsep dasar hukum ini terlihat jelas dalam ilmu Hukum Kesehatan di mana pada hakikatnya hubungan pasien dan dokter secara hukum (keperdataan) merupakan serangkaian hak dan kewajiban yang dimiliki oleh masing-masing pihak. Apabila pasien dan dokter dapat menjalankan kewajiban masing-masing, maka hak mereka juga akan terjamin berdasarkan ikatan perjanjian antara keduanya.
Guna melindungi dokter dari kejadian serupa di kemudian hari, diperlukan pemaparan komprehensif atas Hukum Kesehatan di lingkungan rumah sakit. Pemaparan dapat diberikan melalui gerakan edukasi yang bersifat informatif di mana ketentuan hukum dalam Pasal 52 dan 53 UU No. 24 tahun 2009 dipaparkan secara visual agar pasien dapat memahami dengan mudah hak serta kewajiban mereka kepada dokter yang melayani mereka. Dengan masyarakat yang menyadari keberlakuan hukum dalam lingkup pelayanan kesehatan, maka perlindungan hak baik pasien maupun dokter akan lebih terjamin di kemudian hari.
Pustaka
Buku
Hanafiah, M. Jusuf dan Amri Amir. Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan. Ed. 5. Jakarta: EGC, 2016.
Mertokusumo, Sudikno. Mengenal Hukum: Suatu Pengantar. Yogyakarta: CV Maha Karya Pustaka, 2019.
Santoso, Topo. Hukum Pidana: Suatu Pengantar. Cet. 1. Depok: Rajawali Pers, 2020.
Peraturan Perundang-Undangan
Indonesia. Undang-Undang tentang Praktik Kedokteran, UU No. 29 Tahun 2004, LN No. 116 Tahun 2004, TLN No. 4431.
Indonesia. Undang-Undang tentang Rumah Sakit, UU No. 44 Tahun 2009, LN No. 153 Tahun 2009, TLN No. 5072.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata [Burgerlijk Wetboek]. Diterjemahkan oleh R. Soebekti dan R. Tjitrosubidio. Cet. 43 (Jakarta: Balai Pustaka, 2017).
Indonesia. Menteri Kesehatan. Peraturan Menteri Kesehatan tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran, Permenkes RI No. 290/MENKES/III 2008.
Indonesia. Menteri Kesehatan. Keputusan Menteri Kesehatan tentang Protokol Kesehatan Bagi Masyarakat di Tempat dan Fasilitas Umum Dalam Rangka Pencegahan dan Pengendalian Corona Virus Disease 2019 (COVID-19), Kepmenkes No. HK.01.07/MENKES/382/2020 Tahun 2020.
Indonesia. PB IDI. Surat Keputusan PB IDI tentang Penerapan Kode Etik Kedokteran Indonesia, SK PB IDI No. 221/PB/A.4/04/2002 tanggal 19 April 2002.
Indonesia. IDI Banyuwangi. Surat No. 45/A.2-1327/IDI-BWI/VII/2020.
Internet
CIPR. “Lobbying.” https://cipr.co.uk/CIPR/Our_work/Policy/Lobbying.aspx. Diakses 13 April 2021.
Dewi, Retia Kartika. “Hari Dokter Nasional dan Tantangan Dokter Indonesia di Tengah Pandemi Covid-19.” https://www.kompas.com/tren/read/2020/10/25/111100865/hari-dokter-nasional-dan-tantangan-dokter-indonesia-di-tengah-pandemi-covid?page=all. Diakses 13 April 2021.
Fanani, Ardian. “IDI Kutuk Aksi Pengeroyokan Oknum LSM Terhadap Dokter RSUD Blambangan.” https://news.detik.com/berita-jawa-timur/d-5118822/idi-kutuk-aksi-pengeroyokan-oknum-lsm-terhadap-dokter-rsud-blambangan. Diakses 12 April 2021.
Fanani, Ardian. “Ketua LSM GMBI Ditahan Atas Dugaan Penganiayaan Dokter di Banyuwangi.” https://news.detik.com/berita-jawa-timur/d-5127513/dua-anggota-lsm-gmbi-yang-keroyok-dokter-di-banyuwangi-ditangkap/2. Diakses 12 April 2021.
Fanani, Ardian. “Oknum LSM Diduga Mabuk Saat Keroyok Dokter RSUD Blambangan Banyuwangi.” https://news.detik.com/berita-jawa-timur/d-5114461/oknum-lsm-diduga-mabuk-saat-keroyok-dokter-rsud-blambangan-banyuwangi. Diakses 12 April 2021.
Fanani, Ardian. “Polisi Buru Oknum Anggota LSM yang Keroyok Dokter Jaga RSUD Blambangan.” https://news.detik.com/berita-jawa-timur/d-5111719/polisi-buru-oknum-anggota-lsm-yang-keroyok-dokter-jaga-rsud-blambangan. Diakses 12 April 2021.
Humas FKUI. “83% Tenaga Kesehatan Indonesia Mengalami Burnout Syndrome Derajat Sedang dan Berat Selama Masa Pandemi COVID-19.” https://fk.ui.ac.id/berita/83-tenaga-kesehatan-indonesia-mengalami-burnout-syndrome-derajat-sedang-dan-berat-selama-masa-pandemi-covid-19.html. Diakses 13 April 2021.
Rahayu, Lisye Sri. “ICRC Catat Lebih dari 600 Tenaga Medis COVID-19 Alami Kekerasan Saat Pandemi.” https://news.detik.com/internasional/d-5138540/icrc-catat-lebih-dari-600-tenaga-medis-covid-19-alami-kekerasan-saat-pandemi/2. Diakses 12 April 2021.
Zuhad, Ahmad. “Studi: Kekerasan pada Tenaga Kesehatan di Seluruh Dunia Bertambah terkait Pandemi Covid-19.” https://www.kompas.tv/article/151838/studi-kekerasan-pada-tenaga-kesehatan-di-seluruh-dunia-bertambah-terkait-pandemi-covid-19. Diakses 12 April 2021.